Jarum
jam telah menunjukkan pukul sebelas. Matahari kian condong ke barat. Suasana
sejuk dan dingin justru berganti terik, menandakan pergantian waktu menuju
siang. Panasnya sinar mentari menembus lapisan epidermis. Kusapu peluh yang mengalir
di pelipis..
Di
bawah sinarnya ku berlari mengejar sebuah nilai. Sudah 2 kali ku putari jalan
ini. Ku lewati 5 gang yang setiap ujungnya memiliki cabang. Tubuhku dibasahi keringat, aroma vanila beganti sangit. Belum lagi butiran debu
yang berterbangan. Menambah kusut penampilan. Padahal sehabis ini masih ada jam
pelajaran tambahan.
“Cepat
dong Vi.. Nanti kita bisa terlambat, ngulang lagi deh minggu depan.”
“Iya
sabar, aku udah gak kuat lagi nih.”
“Huft..payah!”
Aku
mengeluh untuk yang satu ini. Berlari adalah kelemahanku. Olahraga di siang
hari bagiku tiada lagi manfaat. Mungkin sakit yang akan ku dapat. Kerongkonganku
kering, Seteguk air guna melepas dahaga pun tak ada, bahkan sedikit air liur
taktersisa. Inginku berhenti di warung kecil yang berada di ujung jalan. Tapi
aku sudah tertinggal jauh dari kelompokku. Sesalku, kenapa tidak kubawa air
minum sebagai persiapan di jalan. Aku sudah seperti ikan yang terdampar di
tepian.
“Re, tungguin aku dong.
Capek banget nih. Haus.”
“Sebentar lagi kita
sampai garis finish Vi, semangat! Nanti kita beli minum.”
“Duh, kering banget nih
tenggorokan. Kalau pingsan gimana?”
“Yaudah ditinggal aja
di jalan.”
“Tega banget sih!”
(dengan wajah kesal)
“Hahaha, bercanda. Yuklah
cepat. Teman-teman yang lain udah nungguin kamu tuh di depan. Kamu lari seperti
jalan santai sih.”
“Itu sudah yang paling
kencang tau! Kalau boleh naik ojek, sudah dari tadi aku sampai.”
“Yasudah yuk lanjut larinya.”
Dari kejauhan aku sudah dapat melihat Pak Reza di
persimpangan jalan. Pertanda garis finish sudah dekat. Stopwatch dan pluit ia gunakan
untuk menghitung lamanya perjalanan kami.
Semakin lama waktu yang ditunjukkan, semakin kecil nilai yang akan di
dapat. Aku harap kali ini Pak Reza berbaik hati padaku karena aku sudah cukup
letih untuk mengulang agar mendapatkan nilai yang baik.
“Evi.. Selalu ya.” Sembari menggelengkan kepala.
“Selalu apa Pak?”
“Kamu selalu jadi nomor satu paling akhir”
“Yah pak.. Saya mohon jangan ngulang larinya. Percuma
saja, saya tidak bisa mempercepat gerak lari saya. Bapak beri saya tugas saja
ya, tapi jangan lari keliling komplek lagi. Mohon pak”
Dengan
wajah memelas aku memohon. Dan untungnya Pak Reza berbaik hati. Aku tidak jadi
mengulang. Akhirnya dia mengizinkanku untuk beristirahat.
Seketika
pikiranku terbesit menuju kantin. Ku melihat ada banyak macam minuman yang
terjejer di atas meja, berwarna warni dengan es batu sebagai tambahan. Namun
mataku terfokus pada satu botol air mineral. Butiran air di luar kemasan
menandakan kalau air itu dingin. Seteguk air membuatku merasa hidup kembali. Aku
serasa mati karena kehausan sebelumnya. Dan waktu 1 jam untukku beristirahat
tidaklah cukup mengobati kepenatan.
Dua jam berlalu. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 wib.
Lonceng pun berbunyi. Menandakan jam belajar hari ini akan dilanjutkan esok
hari. Aku pulang berjalan kaki melewati komplek perumahan. Namun sebelum itu,
aku kembali mampir ke warung untuk membeli sebotol air mineral dingin. Tak jauh
dari sana, seorang nenek tua renta penjual sapu ijuk dipunggungnya berjalan
melewati jejeran pedagang minuman. Sepertinya ia tengah kehausan. Tetapi tak
mampu untuk membeli. Mungkin saja dangangannya belum ada yang terjual.
Lama ku perhatikan, tak sampai hati aku melihat
nenek itu. Setiap kali ia melewati
anak-anak yang sedang minum. Iya selalu meneguk sendiri air liurnya. belum lagi
beban berat yang berada di punggungnya. pasti ia merasa sangat kelelahan. jika
dibandingkan fisiknya dengan ku, aku jauh lebih muda darinya. namun aku tak sanggup
berlari keliling komplek, sedangkan pekerjaan nenek itu mewajibkannya untuk
berjalan keliling meski di bawah teriknya sinar matahari.
Ku
hampiri nenek itu, dan kuberikan air mineral yang baru saja ku beli meskipun
aku sendiri kehausan dan uang ku tidak cukup untuk membeli lagi. Semula ia
menolak pemberianku. Namun aku memaksa dan mengatakan kalau aku sudah minum
sebelumnya. Nenek itu pun mengucapkan terimakasih dan menerimanya. Setelah itu,
nampak sedikit keceriaan di wajah senjaanya. Aku senang melihat itu.
Ku
lihat jarum jam menunjukkan pukul empat sore. seperti biasa aku selalu terlambat tiba di rumah. Jalanan
di ibu kota terlalu padat, sehingga perjalanan akan terasa lebih panjang
meskipun jarak tempuhnya dekat. Aku sudah terbiasa dengan suasana seperti ini.
Angkutan umum yang ku tumpangi berhenti tepat di depan gang rumahku, tanpa sengaja aku
menemukan selembar uang kertas berwarna merah. Semula ku kira itu hanya mainan
anak-anak. Namun setelah ku lihat dengan baik. Ternyata itu uang sungguhan. Aku
tak tahu uang itu milik siapa.
Apakah
mungkin ini rezeki karena aku telah menolong nenek tadi atau hanya sebuah
kebetulan? Aku pun tak tahu. Namun satu pelajaran yang kudapat. Untuk menolong
seseorang tidak butuh hal yang besar. Tidak perlu sesuatu yang mahal. Dari
sebotol air mineral pun akan sangat berharga bagi orang lain. Dan ternyatan ada
sebuah kebahagiaan yang tersirat di balik setetes air.
__NFathiaSalma__
Thursday, 6th October 2016
17:00 PM
Its has nice flow.... like i am reading a good novel... keep writing dear..
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusThanks Sir. In fact one of my dreams, I want to be a novelist.. I like writing short stories but sometimes I forget to continue it 😅
Hapus