Assalamu'alaikum

Kamis, 06 Oktober 2016

Short Story - THE HAPPINESS BEHIND DROP OF WATER



Jarum jam telah menunjukkan pukul sebelas. Matahari kian condong ke barat. Suasana sejuk dan dingin justru berganti terik, menandakan pergantian waktu menuju siang. Panasnya sinar mentari menembus lapisan epidermis. Kusapu peluh yang mengalir di pelipis..

Di bawah sinarnya ku berlari mengejar sebuah nilai. Sudah 2 kali ku putari jalan ini. Ku lewati 5 gang yang setiap ujungnya memiliki cabang. Tubuhku dibasahi keringat, aroma vanila beganti sangit. Belum lagi butiran debu yang berterbangan. Menambah kusut penampilan. Padahal sehabis ini masih ada jam pelajaran tambahan.

“Cepat dong Vi.. Nanti kita bisa terlambat, ngulang lagi deh minggu depan.”
“Iya sabar, aku udah gak kuat lagi nih.”
“Huft..payah!”

Aku mengeluh untuk yang satu ini. Berlari adalah kelemahanku. Olahraga di siang hari bagiku tiada lagi manfaat. Mungkin sakit yang akan ku dapat. Kerongkonganku kering, Seteguk air guna melepas dahaga pun tak ada, bahkan sedikit air liur taktersisa. Inginku berhenti di warung kecil yang berada di ujung jalan. Tapi aku sudah tertinggal jauh dari kelompokku. Sesalku, kenapa tidak kubawa air minum sebagai persiapan di jalan. Aku sudah seperti ikan yang terdampar di tepian.

“Re, tungguin aku dong. Capek banget nih. Haus.”
“Sebentar lagi kita sampai garis finish Vi, semangat! Nanti kita beli minum.”
“Duh, kering banget nih tenggorokan. Kalau pingsan gimana?”
“Yaudah ditinggal aja di jalan.”
“Tega banget sih!” (dengan  wajah kesal)
“Hahaha, bercanda. Yuklah cepat. Teman-teman yang lain udah nungguin kamu tuh di depan. Kamu lari seperti jalan santai sih.”
“Itu sudah yang paling kencang tau! Kalau boleh naik ojek, sudah dari tadi aku sampai.”
“Yasudah yuk lanjut larinya.”

            Dari kejauhan aku sudah dapat melihat Pak Reza di persimpangan jalan. Pertanda garis finish sudah dekat. Stopwatch dan pluit ia gunakan untuk menghitung lamanya perjalanan kami.  Semakin lama waktu yang ditunjukkan, semakin kecil nilai yang akan di dapat. Aku harap kali ini Pak Reza berbaik hati padaku karena aku sudah cukup letih untuk mengulang agar mendapatkan nilai yang baik.
           
            “Evi.. Selalu ya.” Sembari menggelengkan kepala.
            “Selalu apa Pak?”
            “Kamu selalu jadi nomor satu paling akhir”
         “Yah pak.. Saya mohon jangan ngulang larinya. Percuma saja, saya tidak bisa mempercepat gerak lari saya. Bapak beri saya tugas saja ya, tapi jangan lari keliling komplek lagi. Mohon pak”

Dengan wajah memelas aku memohon. Dan untungnya Pak Reza berbaik hati. Aku tidak jadi mengulang. Akhirnya dia mengizinkanku untuk beristirahat.

Seketika pikiranku terbesit menuju kantin. Ku melihat ada banyak macam minuman yang terjejer di atas meja, berwarna warni dengan es batu sebagai tambahan. Namun mataku terfokus pada satu botol air mineral. Butiran air di luar kemasan menandakan kalau air itu dingin. Seteguk air membuatku merasa hidup kembali. Aku serasa mati karena kehausan sebelumnya. Dan waktu 1 jam untukku beristirahat tidaklah cukup mengobati kepenatan.
      
      Dua jam berlalu. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 wib. Lonceng pun berbunyi. Menandakan jam belajar hari ini akan dilanjutkan esok hari. Aku pulang berjalan kaki melewati komplek perumahan. Namun sebelum itu, aku kembali mampir ke warung untuk membeli sebotol air mineral dingin. Tak jauh dari sana, seorang nenek tua renta penjual sapu ijuk dipunggungnya berjalan melewati jejeran pedagang minuman. Sepertinya ia tengah kehausan. Tetapi tak mampu untuk membeli. Mungkin saja dangangannya belum ada yang terjual.
            
            Lama ku perhatikan, tak sampai hati aku melihat nenek  itu. Setiap kali ia melewati anak-anak yang sedang minum. Iya selalu meneguk sendiri air liurnya. belum lagi beban berat yang berada di punggungnya. pasti ia merasa sangat kelelahan. jika dibandingkan fisiknya dengan ku, aku jauh lebih muda darinya. namun aku tak sanggup berlari keliling komplek, sedangkan pekerjaan nenek itu mewajibkannya untuk berjalan keliling meski di bawah teriknya sinar matahari.
            
           Ku hampiri nenek itu, dan kuberikan air mineral yang baru saja ku beli meskipun aku sendiri kehausan dan uang ku tidak cukup untuk membeli lagi. Semula ia menolak pemberianku. Namun aku memaksa dan mengatakan kalau aku sudah minum sebelumnya. Nenek itu pun mengucapkan terimakasih dan menerimanya. Setelah itu, nampak sedikit keceriaan di wajah senjaanya. Aku senang melihat itu.

Ku lihat jarum jam menunjukkan pukul empat sore. seperti biasa  aku selalu terlambat tiba di rumah. Jalanan di ibu kota terlalu padat, sehingga perjalanan akan terasa lebih panjang meskipun jarak tempuhnya dekat. Aku sudah terbiasa dengan suasana seperti ini.

Angkutan umum yang ku tumpangi berhenti tepat di depan gang rumahku, tanpa sengaja aku menemukan selembar uang kertas berwarna merah. Semula ku kira itu hanya mainan anak-anak. Namun setelah ku lihat dengan baik. Ternyata itu uang sungguhan. Aku tak tahu uang  itu milik siapa.


Apakah mungkin ini rezeki karena aku telah menolong nenek tadi atau hanya sebuah kebetulan? Aku pun tak tahu. Namun satu pelajaran yang kudapat. Untuk menolong seseorang tidak butuh hal yang besar. Tidak perlu sesuatu yang mahal. Dari sebotol air mineral pun akan sangat berharga bagi orang lain. Dan ternyatan ada sebuah kebahagiaan yang tersirat di balik setetes air.




__NFathiaSalma__
Thursday, 6th October 2016
17:00 PM

3 komentar:

  1. Its has nice flow.... like i am reading a good novel... keep writing dear..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Thanks Sir. In fact one of my dreams, I want to be a novelist.. I like writing short stories but sometimes I forget to continue it 😅

      Hapus